Setiap tahun bencana gerakan tanah terjadi di beberapa kawasan Pulau Ambon. Karena, wilayah Pulau Ambon mempunyai tipologi yang kontras serta karakteristik tatanan satuan pegunungan yang terjal. Pulau Ambon merupakan pulau-pulau busur vulkanis dan berada dalam wilayah kepulauan pulau-pulau kecil yang berhubungan dengan zona penunjaman sehingga mempunyai tingkat kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana alam. Pulau Ambon, secara administratif memiliki dua jazirah yaitu bagian utara disebut jazirah Lei Hitu masuk dalam administrasi Kabupaten Maluku Tengah (Kecamatan Leihitu, Kecamatan Leihitu Barat dan Kecamatan Salahutu), dan jazirah selatan disebut Leitimur masuk dalam administrasi Kota Ambon (Kecamatan Nusanive, Kecamatan Sirimau, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kecamatan Teluk Ambon dan Kecamatan Leitimur Selatan). Geomorfologi yang menyusun kota dan kabupaten ini dikelompokkan menjadi tiga satuan yaitu, satuan perbukitan dataran rendah, satuan perbukitan bergelombang kasar, dan satuan perbukitan bergelombang. Satuan-satuan ini umumnya dibentuk oleh batuan gunungapi seperti lava, breksi gunungapi, batuan terobosan yang umumnya mencirikan dalam bentuk perbukitan yang terjal dengan lembah sempit. Sedangkan di kawasan pesisir memiliki karakter yang unik dengan morfologi karst dan tipologi pantai berpasir yang dikontrol oleh sungai-sungai kecil dan besar. Salah satu upaya mitigasi gerakan tanah yang dilakukan di Pulau Ambon adalah dengan menjadikan bagian selatan dan barat Pulau Ambon sebagai teras nyaman, sehingga prevensi dan mitigasi kawasan Pulau Ambon ini dapat diperhatikan dengan serius.
Gerakan tanah yang terjadi di Pulau Ambon adalah gerakan tanah jenis longsoran, jatuhan, robohan dan aliran. Hal ini disebabkan oleh curah hujan tinggi dengan durasi yang lama, bentuk lereng yang terjal, gempabumi, sifat tanah pelapukan yang sarang dan mudah luruh jika terkena air, dan penataan air permukaan (sistem drainase) yang kurang baik. Gerakan tanah ini terbagi menjadi empat proses, yaitu proses pelepasan tanah penutup lereng sebagai material debris, berlanjut dengan proses penggelinciran debris pada bidang gelincir akibat terseret air, serta terjadi proses pengendapan debris pada dataran datar (cut fill) dan adanya proses air meninggalkan endapan debris. Buku ini dihimpun secara khusus dari peneliti dengan menggunakan berbagai metode pendekatan seperti geofisika, geoteknik, geokimia, geoinformasi, dan fisika gerakan tanah yang dilakukan secara interdisiplin maupun multidisiplin. Buku ini akan membantu para perencana, pengembangan, pengambil kebijakan, rekayasa, sains kebumian dan lebih dari itu dapat diaplikasikan dan dikembangkan di lapangan serta menjadi pembelajaran pada kawasan lain sehingga dapat memberi manfaat dalam tindakan mitigasi bencana kawasan secara meluas.