Tindak pidana korupsi merupakan delik yang merugikan keuangan negara dengan jumlah kerugian yang fantastis sehingga dapat mengganggu jalannya pembangunan serta masa depan bangsa. Pengembalian kerugian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang saat ini dapat dikatakan belum efisien. Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW), kerugian negara (state loss) dalam kasus tindak pidana korupsi dalam kurun waktu 2020 mencapai Rp. 18,173 triliun, kemudian meningkat di tahun 2021 mencapai Rp. 26,83 triliun. Berdasarkan data tersebut nilai kerugian negara meningkat 47,6 persen.
Dalam upaya penyelamatan kerugian keuangan negara, perlu dilakukan penyitaan aset milik tersangka/terdakwa yang selanjutnya majelis hakim memutuskan bahwa aset tersebut dirampas untuk negara, namun ternyata aset yang dirampas masih ada keterkaitan dengan pihak lain. Harta kekayaan yang diperoleh oleh pihak ketiga yang beritikad baik sejatinya harus mendapat perlindungan hukum sebab sering kali harta kekayaan pihak ketiga disita untuk dijadikan barang bukti, yang dimana selama penyitaan berlangsung pihak yang bersangkutan kehilangan hak dalam memanfaatkan harta benda yang disita tersebut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pengembalian kerugian negara melalui penyitaan aset didasarkan pada United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) 2003 yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah pada pasal 19 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang jelas uraiannya mengenai pelaksanaan penyitaan aset bagi pihak yang beritikad baik.
Buku ini akan membahas tentang penyitaan dan perampasan aset dalam proses peradilan pidana dan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik dalam penyitaan aset perkara Tindak Pidana Korupsi. Buku ini juga dilengkapi dengan studi kasus yang akan menjadikan uraian pembahasan menjadi lebih jelas, sehingga buku ini sangat direkomendasikan tidak hanya bagi akademisi atau mahasiswa hukum saja, tetapi bagi praktisi Jaksa, Pengacara maupun Hakim.