Kesenian tradisional dengan kekhasannya, merupakan bagian inhern dari kebudayaan kita, oleh karena itu sangat potensial untuk kita jadikan tameng dalam menghadapi disparitas ekstrem, globalisasi yang kian ambigu. Muatan keluhuran yang esensial dari kesenian tradisional, lengkap dengan sifat fleksibelitasnya yang otonom, memberikan ruang yang nyaman untuk disinggahi sebagai ruang dimensi kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Di lain sisi kebudayaan sangat bersifat multidimensi, oleh karenanya segala aspek yang terkandung didalamnya, menawarkan suatu kekuatan prestigious internal, yang dapat dijadikan lentera untuk menangkal kepiluan efek modernitas.
Pengingkaran kebudayaan yang terjadi tanpa kita sadari, bahkan patut dicurigai sebagai biang keladi tersumbatnya perkembangan Pendidikan, yang merupakan entitas dari kebudayaan. Maka entitas lain dari kebudayaan yang dipilih untuk menguatkan Pendidikan, mestinya merujuk pada kriteria yang tidak hanya mengantongi aspek keluhuran saja, tetapi bersifat terbuka dan fleksibel. Oleh karena itu, legesi penguatan Pendidikan yang berorientasi pada kebudayaan, harus diimbangi dengan penggalian kesenian secara mumpuni. Dari padanya muncul rasa optimis, seperti halnya rasa optimisme saya pada kesetiaan “Matahari yang terbit dan tengelam, tepat pada waktunya” serta kesetiaan “embun yang selalu menyambangi rerumputan, diwaktu fajar”. Penggalian potensi-potensi yang ada pada kesenian tradisional, mestinya mampu mengantarkan manusia mencapai puncak antroposentris yang sejati.
Buku “Ekspresi Estetis: Kesenian-Kesenian Tradisional” merupakan usaha kecil penulis dalam merepresentasikan rasa optimismenya, akan seni tradisonal. Dari lima bab yang penulis sajikan, berisi simposium yang secara garis besar berkait dengan kesenian tradisional, khususnya beberapa jenis kesenian khas yang hidup dan berkembang di Brebes. Selain merepresentasikan rasa optimisme, kehadiran buku kecil ini juga sebagai media provokasi penulis, untuk terus meyuarakan pentingnya sikap apresiasi terhadap kearifan lokal. Ahirkalam, jangan sampai kita menjadi generasi yang mengalami dua kali kegagalan: 1. Menjadi generasi merugi, karena tidak dapat menyaksikan kesenian-kesenian tradisionalnya, 2. Menjadi generasi merugi, karena tidak mengetahui dan memahami kesenian-kesenian tradisional yang kita miliki.