Buku kumpulan sajak ini terbit untuk mengetuk pintu dengan seikat kembang atau sekedar mengucap salam untuk berbagi kisah kepadamu tentang banyak resah. Tentang manusia sampah yaitu manusia yang bernarasi bak musisi, menata kata bak pujangga namun tanpa sadar (atau mungkin memang sengaja) terpenjara oleh pundi-pundi.
Tentang Indonesia yang telah merdeka tujuh puluh lima tahun silam diproklamirkan tapi kesenjangan kesejahteraan merentang jarak meter ribuan delapan puluh persen rakyat mengais 20 persen sumber kesejahteraan dua puluh persen elit mengangkangi 80 persen sumur kemakmuran. Juga tentang keresahan penulis yang melihat dirimu diperlakukan tidak adil di hadapan hukum, lalu penulis mencoba mencari namamu di hutan-hutan Sumatra, Papua, Sulawesi, dan Kalimantan namun tak ada sebagai penerima ‘warisan’ Aku coba teliti namamu di arsip-arsip rapih / Dana Bansos Covid-19, Ekspor Lobster, Asabri Bumiputra, Jiwasraya, Pertamina, Century, dan BLBI namun pencarianku hanya gigit jari.
Lalu, mengapa engkau harus menjadi pesakitan?
Maka, penulis pun mengajak engkau, “Untuk bisa merasa resah pada kezaliman yang mendedah di depan mata secara telanjang dan pongah meludahi akal sehat yang bertahun-tahun diasah di bangku sekolah dan ruang-ruang kuliah oleh kekuasaan yang jengah?”
Dan bila engkau mengangguki resah penulis dalam buku ini, maka penulis berucap, “Bila kebaikan dan senyummu tak pernah layu di hatiku maka, jangan larang aku untuk selalu mengingatmu jangan pula salahkan bila aku selalu merawat rindu di hatiku untukmu”. Tapi “Astagaa… ternyata engkau telah lelap saat aku masih semangat berkisah gelap menertawakan dan tersenyum sendiri aku memasuki mimpi”. Ah, “Kamu sebenarnya siapa sih?!”
Begitulah penulis mengabadikan setiap keresahan yang mendedahnya. Semoga keberadaan buku ini di tangan pembaca yang mulia bisa menjadi pemicu dan pemacu untuk belajar menjejakkan karya, khususnya dalam tulis menulis.