Dalam perjalanan panjang sejarah perempuan, agama telah memainkan peran yang kuat dalam membentuk identitas, peran, dan hak-hak mereka dalam masyarakat. Namun, sering kali agama juga telah digunakan sebagai alat untuk mengekang, membatasi, bahkan menindas perempuan. Di tengah dinamika ini, pembebasan perempuan menjadi sebuah perjuangan yang tidak hanya melawan struktur kekuasaan yang eksplisit, tetapi juga memperjuangkan interpretasi yang inklusif dan progresif terhadap ajaran agama.
Buku ini menggali kompleksitas hubungan antara perempuan, agama, dan pembebasan. Dengan mengeksplorasi teks-teks suci, praktik keagamaan, dan narasi sejarah, di sini berusaha untuk memahami bagaimana agama memengaruhi kehidupan perempuan secara individual dan kolektif. Namun, lebih dari itu, juga bertujuan untuk merangsang pemikiran kritis tentang bagaimana agama dapat menjadi sumber pembebasan bagi perempuan, bukan alat penindasan.
Negara memang memiliki peran besar sekaligus tanggung jawab dalam melakukan “pemberdayaan” perempuan, bukan sebaliknya “pemperdayaan” (baca: eksploitasi). Karena terhadap masalah ini negara memiliki peran ganda: memperdaya atau memberdaya. Di sini maka perlu ada good will dan sekaligus political will negara dalam rekayasa sosialnya. Dalam konteks ideologi agama, perlu ada gerakan pemaknaan ulang (redevine) terhadap teks. Pemaknaan ulang ini penting, sebab persoalan aktualisasi perempuan yang mengganggu selama ini adalah persoalan doktrin pemikiran agama (yurisprudensi Islam, fiqh) dan tafsir Al-Qur’an yang dianggap baku. Padahal segala jenis pemikiran agama yang diformulasikan oleh para ulama’ terdahulu tak imun kritik (konstruktif) dan perubahan.
Di sinilah maka meminjam istilah Arkoun, perlu ada desakralisasi pemikiran agama (Al-Lataqdis, Al-Fikr, Al-Diny). Anggapan yang berkembang dalam masyarakat kita adalah “bahwa perempuan itu makhluk yang sempit nalar, mudah emosi, gampang menangis dan mudah tergoda, sehingga tempat layaknya hanya di rumah, merawat anak-anak dan melayani suami.” Begitulah kondisi pemahaman masyarakat kita selama ini yang juga berangkat dari dan atas nama “agama”. Tapi setidaknya kita masih bisa “melunakkan” keyakinan itu yang juga berangkat atas nama “agama”, yaitu pemahaman teks dari perspektif setting sosial-budaya dan asbab nuzul-nya. Setidaknya persoalan yurisprudensi Islam yang mereka anut selama ini tidak dianggap memiliki kebenaran mutlak, yang tidak selamanya benar, dan pada saat yang sama mereka mau menerima pemikiran hukum Islam yang mempertimbangkan aspek-aspek lain, yaitu kemaslahan umat.