Buku ini menggali kisah perempuan Madura yang hidup dalam pusaran budaya carok sebuah praktik kekerasan yang selama bertahun-tahun dipandang sebagai jalan terakhir dalam mempertahankan harga diri. Di tengah struktur sosial yang sangat patriarkis, perempuan sering ditempatkan sebagai simbol kehormatan keluarga, namun sekaligus menjadi pihak yang paling rentan ketika konflik meletus. Narasi-narasi di dalamnya memperlihatkan bagaimana tubuh dan nama perempuan kerap dijadikan alasan pembenar untuk pertumpahan darah yang seolah dianggap wajar
Melalui pendekatan etnografis, studi literatur, dan kisah pengalaman nyata, buku ini membedah lapis-lapis kekuasaan laki-laki yang mengatur ruang gerak perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Di balik idealisasi tentang keberanian dan kegagahan laki-laki Madura, terdapat ketidakadilan struktural yang membuat perempuan mengalami tekanan psikologis, kontrol sosial, dan ancaman kekerasan berlapis. Konstruksi seperti “kehormatan keluarga”, “harga diri laki-laki”, dan “tanggung jawab perempuan” dipaparkan secara kritis untuk menunjukkan bagaimana budaya patriarki mengakar kuat dalam dinamika rumah tangga maupun komunitas.
Lebih dari sekadar menjelaskan fenomena carok, buku ini mengajak pembaca melihat suara-suara perempuan yang selama ini jarang terwakili dalam diskursus publik. Mereka bukan hanya korban, tetapi juga individu yang memiliki pengalaman emosional, strategi bertahan hidup, hingga harapan untuk perubahan. Dengan perspektif yang humanis dan kritis, Perempuan dalam Bayang Carok menjadi seruan untuk memahami kembali budaya, kekerasan, dan relasi gender di Madura melalui kacamata yang lebih adil dan empatik