Di Kawasi, Pulau Obi, suara jangkrik dan debur ombak perlahan tergantikan oleh deru mesin tambang.
Tanah, laut, dan hutan yang dulu menjadi sumber kehidupan kini terkepung oleh pabrik, debu, dan polusi. Masyarakat yang dulunya sejahtera dari hasil kebun dan laut, harus berjuang di tengah kehilangan ruang hidup dan ancaman krisis ekologis.
Buku ini menghadirkan kisah nyata, refleksi iman, sekaligus suara profetis gereja: bahwa menggereja berarti hadir, berpihak, dan berjuang bersama masyarakat yang ditindas. Suara Mimbar di Tengah Tambang bukan sekadar dokumentasi penderitaan, melainkan panggilan iman untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah suara-suara besar yang menindas kehidupan.
Inilah suara mimbar yang tidak saja bergema di ruang tertutup,tetapi merengkuh hati yang terluka di atas tanah yang tercemar dan air yang teracuni.