Kali ini aku benar-benar patah, sejauh ini tak ada lagi tempat paling nyaman untuk pulang. Bukan ingin melawan takdir, bukan tidak percaya akan adanya pelangi setelah hujan melanda, bukan tidak meyakini bahwa peraduan abadi adalah Tuhan, melainkan aku masih sangat ringkih untuk menjalani kehidupan penuh ombak besar ini, di tambah lagi badai yang datangnya kerap tak disangka. Aku terlalu rapuh untuk menguatkan diri sendiri atas pilihan-pilihan yang terkadang aku bimbang, aku terlalu ciut untuk bersuara atas kepedihan-kepedihan dari masa silam.
Sekali lagi, aku kehilangan tempat pulang yang beberapa tahun kedepan masih lekang dalam ingatan, masih ranum namanya di dalam bait-bait doa setelah sujud panjang. Menahan air mata yang menginginkan jatuh nyatanya berakhir luruh hingga kering tak tersisa, bayangan di teras rumah, di ladang, dan tiap kali berjalan beriringan masih tetap tak mau beranjak, menetap, melekat, dan abadi tanpa sekat, waktu ini kakek kembali dan aku patah untuk kesekian kali.