Kumpulan cerpen Tembok Gaib menghadirkan potret kehidupan masyarakat yang tampak biasa, namun sesungguhnya dibatasi oleh sekat-sekat tak kasatmata: rasa takut, prasangka, kekuasaan, dan kebisuan sosial. Setiap cerpen mengisahkan tokoh-tokoh yang hidup dalam tekanan batin dan sosial—guru, pelajar, warga desa, hingga orang-orang pinggiran—yang berhadapan dengan tembok simbolik yang menghalangi kebebasan berpikir, bersuara, dan menentukan nasib. Tembok itu disebut “gaib” karena tidak pernah benar-benar terlihat, tetapi kehadirannya dirasakan kuat dalam keseharian tokoh-tokohnya.
Melalui gaya penceritaan yang realis-magis dan metaforis, cerpen-cerpen dalam buku ini menyingkap konflik antara nurani dan kekuasaan, antara harapan dan ketakutan, serta antara kejujuran dan kompromi. Ruang-ruang sosial seperti sekolah, kampung, rumah ibadah, dan institusi negara menjadi latar yang mempertegas bagaimana tembok-tembok tersebut dibangun dan diwariskan secara diam-diam. Bahasa yang puitis namun tajam digunakan untuk menyentuh lapisan emosi pembaca, sekaligus mengajak merenungi luka-luka sosial yang kerap dinormalisasi.
Pada akhirnya, Tembok Gaib bukan sekadar kumpulan cerita, melainkan sebuah refleksi kritis tentang manusia yang terperangkap dalam sistem dan budaya yang mengekang. Buku ini mengajak pembaca untuk menyadari keberadaan tembok-tembok gaib dalam kehidupan sendiri, sekaligus menumbuhkan keberanian untuk mempertanyakan, meruntuhkan, atau setidaknya menamai tembok-tembok itu. Dengan pesan moral yang kuat dan relevan, Tembok Gaib menegaskan peran sastra sebagai ruang perlawanan yang sunyi namun bermakna.