Buku ini menguak bagaimana penyelenggaraan fintech syariah yang belum memiliki kebijakan secara teknis dan masih merujuk kepada kebijakan yang mengatur secara konvensional. Buku ini akan menarasikan adanya kekosongan hukum atas penyelenggaraannya. Penulis akan menerangkan bahwa fintech syariah belum memiliki mitigasi risiko bisnis sesuai tata kelola perusahaan. Maka dari itu status hukum dapat dijadikan standar operasional yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga penyelenggaraan wakaf uang melalui fintech syariah dalam mengajukan perjanjian kerjasama memiliki spekulasi keuntungan yang dapat menyebabkan kerugian sebelah pihak.
Status hukum wakaf uang melalui fintech syariah telah sejalan dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Status hukum perusahaan penyelenggaraan fintech perspektif hukum Islam telah sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas karena telah memiliki produk syariah dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Akan tetapi penyelenggaraan fintech syariah sebagai media layanan digital menjadi solusi pengembangan wakaf namun belum memiliki kebijakan secara teknis, maka terjadi kekosongan hukum. Kemudian status penggunaan layanan teknologi finansial perspektif hukum positif sebagai media transaksi wakaf uang telah sesuai dengan undang-undang informasi dan transaksi elektronik serta didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keungan tentang layanan finansial teknologi dan telah sejalan dengan prinsip undang-undang. Di samping itu adanya kekosongan hukum dapat menumbuhkan ketidakpastian atas perlindungan hukum karena sistem ini rentan terjadi permasalahan. Sehingga status hukum wakaf uang melalui fintech syariah dalam perspektif hukum posistif memerlukan kebijakan khusus agar sesuai dengan prinsip dan tujuan hukum itu sendiri.