Buku ini mengulas perjalanan eklesiologi Gereja HKBP Distrik Simalungun pada masa pendudukan Jepang (1942–1945) serta revitalisasi spiritualitas eklesiologi GKPS dari 1963 hingga 2003. Penulis memfokuskan pada tantangan, penderitaan, dan perjuangan umat Kristen di Simalungun selama pendudukan Jepang, yang melibatkan pemisahan hubungan dengan Zending Barat, pengambilan alih aset gereja, dan tekanan dari pihak penguasa maupun kelompok agama lain.
Di bawah penjajahan Jepang, jemaat Kristen di Simalungun mengalami ujian berat yang mengharuskan mereka mandiri, baik dari segi keuangan, pelayanan, maupun teologi. Dalam masa itu, gerakan seperti Parguru Saksi Kristus (PSK) muncul sebagai upaya inovatif untuk mempertahankan pelayanan gereja melalui pendidikan teologi kontekstual. Meski menghadapi penindasan, gereja menunjukkan ketahanan spiritual dan organisasi.
Bagian kedua buku ini membahas revitalisasi spiritualitas GKPS setelah mencapai kemandirian organisatoris pada 1963. Penulis menggarisbawahi tantangan pluralisme, hubungan gereja dengan negara, dan pengaruh gerakan kharismatik dalam perkembangan eklesiologi. Ia menekankan pentingnya memelihara semangat pekabaran Injil dan pelajaran dari masa pendudukan Jepang untuk menghadapi dinamika gereja masa kini. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan wawancara tambahan. Buku ini menjadi referensi penting bagi mereka yang tertarik pada sejarah gereja di Simalungun serta kajian spiritualitas dan eklesiologi kontekstual di Indonesia.