Hukum di Titik Nol adalah refleksi dan sekaligus ajakan. Refleksi terhadap apa yang telah terjadi: bagaimana hukum telah direngkuh, dibengkokkan, dan kadang dikorbankan oleh kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan cita-cita keadilan. Ajakan untuk memulai ulang, bukan dengan amarah, bukan pula dengan pesimisme, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa hukum harus kembali ke titik asalnya—ke titik nol, di mana ia tidak memihak kekuasaan, tidak menjadi instrumen dominasi, dan tidak kehilangan roh keadilannya.
Titik nol dalam buku ini bukan titik mati. Ia bukan simbol keputusasaan, melainkan simbol pemurnian. Inilah ruang konseptual tempat hukum direposisi, bukan sebagai makhluk teknokratik yang dingin dan birokratis, tetapi sebagai entitas hidup yang bekerja demi kepentingan bersama, bersumber dari nurani, dan berpijak pada akal sehat publik. Hukum tidak boleh kehilangan ketegasannya, tetapi juga tidak boleh menjadi ancaman bagi yang tak bersalah. Di titik nol, hukum ditarik kembali ke garis pangkal—bukan untuk dilemahkan, melainkan untuk dipulihkan.
Narasi-narasi dalam buku ini dibangun bukan dari asumsi belaka, tetapi dari pembacaan faktual dan kritis atas realitas hukum di Indonesia yang belakangan ini semakin memperlihatkan gejala manipulatif dan instrumentalis. Ketika hukum menjadi subordinat politik, ketika keadilan menjadi relatif tergantung pada siapa yang berbicara, dan ketika penegakan hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas—maka saat itulah bangsa ini harus berhenti sejenak, menghela nafas, dan bertanya: masihkah kita percaya bahwa hukum berdiri untuk semua?
Dengan gaya penulisan yang mencoba menjangkau logika dan rasa, buku ini tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga harapan. Bahwa hukum masih mungkin diselamatkan. Bahwa kehancuran bukanlah takdir, tetapi bisa dicegah oleh keberanian intelektual, integritas moral, dan komitmen kolektif untuk mengembalikan hukum pada jalannya yang sahih.