Pesan Qur’ani merupakan makna dalam yang tersirat dalam tersuratnya ayat-ayat al-Qur’an. Pesan Qur’ani, tentu memiliki proyeksi merubah masyarakat Arab yang dihadapinya, ini secara histori atau kesejarahan. Pandangan ini bisa di-aminkan, sebab adanya hubungan saling pengaruh antara al-Qur’an dan budaya bangsa Arab. Jika disebut al-Qur’an sebagai kitab wahyu, maka wahyu bagida Rasulullah saw. Menghadapi masyarakatnya ketika itu. Pesan Qur’ani begitu indah disampaikan sebagai sebuah pesan Allah yang disampaikan melalui lisan qudsiyah Nabi Muhammad saw.
Ibn Arabi memandang bahwa teks al-Qur’an berati tanzil dalam dataran gerak turunnya dan tanzil dalam dataran gerak munculnya. Hamba adalah jalan Tuhannya dan kepadanya tujuanNya (fa al-abd thariq ar-rabb wailaihi ghayatuhu). Maka, manusia sebagai asal dan tujuan maka wajar jika hubungan Tuhan dengannya terjadi sesuai dengan mekanisme-mekanisme budaya yang melahirkannya, dan bahasa dalam hal ini menempati posisi inti.Menjadi penting penempatan al-Qur’an dalam kerangka teori komunikasi beserta perangkat medianya yakni bahasa Arab. Dengan meletakkannya sebagai media komunikasi maka secara menyeluruh ia terkomunitas, terstruktur dan memiliki massa.
Ketika wahyu terbukukan menjadi al-Qur’an, ia menjadi sesuatu yang unik dan masyarakat yang memilikinya (masyarakat Islam) bisa berinterakasi lansung serta memahaminya atau bahkan memproyeksikan maknanya. Sebagaimana di masa Kontemporer ini. Yang berbeda dengan periode tafsir sebelumnya, yaitu masa Nabi dan sahabat, serta masa klasik Islam, tafsir pada masa modern/kontemporer ini lebih menitik-beratkan penafsirannya kepada upaya menjadikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) dan kepada usaha untuk mengungkap ruh al-Qur’an (world view atau weltanchaung al-Qur’an). Memproyeksikan makna ayat-ayat al-Qur’an sebagai spirit dalam membumikan ajaran Islam kontekstual.
Al-Qur’an yang turun 14 abad silam bisa difahami secara kontekstual sesuai zaman. Kajian di buku ini mengambil dua arah, pertama Konstruksi Tafsir al-Qur’an sebagai paradigma keislaman yang inklusif, kedua Reinterpretasi ayat al-Qur’an mengenai kepemimpinan untuk konteksaktual kekinian. Buku ini dialurkan dalam kegelisanan pembacaan penulis terhadap realitas, penguraian tafsir sebagai sebuah paradigma dalam filsafat ilmu (epistemologi), pembentukan paradigma tafsir inklusif dan diakhiri dengan re-interpretasi ayat-ayat sosial-politik dalam al-Qur’an.
Buku ini menghadirkan tema yang terus aktual dalam kehidupan Masyarakat Islam, tema politik-kepemimpinan. Dengan kesadaran serta kegelisan akademik, pembacaan literatur, pemikiran ijtihadi dalam membentuk tafsir sebagai paradigma kajian sekaligus paradigma kritik sosial-kemasyarakat. Paradigma Tafsir Inklusif yang penulis tuturkan dalam tulisan ini dalam kerangka sebagai sebuah fungsi paradigma, yang berisikan konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang digunakan oleh suatu nilai atau tema pemikiran/realitas sosial. Maka, konstelasi ini dikembangkan dari tafsir sebagai ilmu dalam rangka memahami kondisi sejarah dan situasi sosial, untuk memberi kerangka konsepsi dalam memaknai realitas.
Paradigma Tafsir Inklusif yang penulis ajukan, akan menjadi cara pandang baru dalam membuka makna yang tak terkatakan dalam isyarah ilahiyah al-Qur’an. Kekuatan suatu paradigma terletak pada kemampuan membentuk apa yang dilihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang sekiranya bermanfaat untuk dipecahkan, serta apa metode yang digunakan dalam meneliti dan berbuat. Dapat penulis simpulkan, lahirnya buku ini sebagai sebuah upaya pencarian format kajian yang sinergis antara Filsafat Ilmu dan Filsafat Keilmuan Tafsir al-Qur’an dalam menyajikan kajian inklusif-kontekstual al-Qur’an untuk kehidupan sosial kemasyarakatan.