Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi, yaitu ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan usia non-produktif. Mereka yang akan masuk usia produktif pada masa itu adalah anak-anak dan remaja yang saat ini sedang tumbuh dan belajar. Bonus demografi akan menjadi peluang besar jika penduduk usia produktif tersebut memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik terdidik, sehat, dan siap bersaing. Namun, ironisnya, masih ada sebagian remaja yang justru kehilangan kesempatan untuk berkembang karena menikah di usia terlalu muda. Perkawinan anak membuat mereka rentan terpinggirkan dari dunia pendidikan dan pekerjaan, sehingga sulit berkontribusi secara optimal saat bonus demografi tiba.
Fenomena perkawinan anak di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain permasalahan ekonomi, pendidikan yang kurang, pemahaman nilai budaya dan agama, atau kehamilan remaja diluar nikah akibat dari perilaku seks bebas. Perkawinan anak tidak hanya melanggar hak asasi manusia yang mendasar bagi anak-anak, namun juga menghambat akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, serta kesempatan untuk mengembangkan diri dan ekonominya. Dampak kesehatan akibat perkawinan anak yaitu resiko kematian ibu akibat perdarahan dan keguguran serta kematian bayi akibat berat bayi lahir rendah. Untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, negara perlu memastikan bahwa generasi muda memiliki akses setara terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Semua itu sulit dicapai jika praktik perkawinan anak masih dianggap sebagai hal yang wajar atau tidak mendesak untuk diatasi.
Berbagai studi menegaskan bahwa undang-undang saja tidak cukup untuk menghapus praktik perkawinan anak, terutama pada saat berhadapan dengan norma-norma sosial-budaya yang mengakar kuat, kerentanan ekonomi, dan adanya berbagai celah hukum. Berbagai pendekatan yang diambil oleh pemerintah dan lembaga lain mencakup dari edukasi, advokasi hukum, hingga implementasi kebijakan yang berfokus pada perlindungan anak. Efektivitas intervensi ini bergantung pada kualitas implementasi dan kerjasama antara berbagai pihak, termasuk lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum.