Rumahku, Di Tepi Laut Biru mengisahkan seorang gadis kecil yang mandiri bernama Sarni. Di samping bersekolah, ia aktif berniaga dengan membuat ikan pindang yang lezat dan gurih rasanya. Di rumah bambu itu ia memasak pindang yang melimpah, sehingga ia berniat untuk menjual sebagian pindang itu ke kota. Sebagian lagi dititipkan di kedai milik tetangganya yang berada di tepi jalan pantura.
Suatu ketika terjadi kejutan yang tak disangka. Dagangan ikan pindang yang dititipkan di kedai itu bisa habis terjual dengan cepat. Hal itu karena Sarni mempunyai ide untuk mengemas pindang dalam sebuah kuali kecil yang di bungkus dengan kantung kemasan, yang terbuat dari anyaman blarak atau janur tua (daun kelapa) yang masih segar dan kemudian digantung di teritis kedai.
Kisah demi kisah dalam cerita ini sangat menarik, terutama ketika Sarni mendapat pesanan pindang dari Jakarta. Seorang wanita pengusaha muda memesannya untuk acara pertemuan dengan koleganya. Sehingga akhirnya pindang buatan Sarni itu bisa menyapa lidah Jakarta.
Kisah lainnya ketika suatu saat Sarni mendapat kabar dari kakaknya yang menjadi kru kapal pesiar, untuk datang di pelabuhan Semarang, agar bisa melihat-lihat kapal pesiar yang kebetulan singgah di sana.
Kemudian berkat tekadnya untuk memajukan usaha bisnis pindangnya, Sarni mendapatkan penghargaan dan berhasil menyabet predikat sebagai ‘Juragan Cilik’ berprestasi, yang diberikan oleh Dekranasda setempat guna memberi dorongan semangat dan menjadi inspirasi bagi generasi muda sebayanya.