Minangkabau adalah bumi yang disirami iman dan ditumbuhi adat. Di sinilah Islam bukan sekadar agama, melainkan tonggak kehidupan—teranyam dalam falsafah, dipupuk dengan pendidikan, dan gerak zaman. Di balik kabut pagi yang menggantung di lereng Bukit Barisan, terbentang dari Lembah Agam hingga dataran Tanah Datar, surau menjadi tempat panggung sejarah bagi generasi Minang, ia bukan hanya tempat sujud, tapi benteng akal, cahaya ilmu, dan pusat peradaban.
Buku ini menyibak lembaran sejarah panjang bagaimana nilai Islam membentuk karakter masyarakat Minangkabau, membina anak nagari dalam surau-surau sunyi, menghidupkan harapan dan membangun pendidikan yang melahirkan para pemikir, alim ulama, para diplomat, jurnalis, dan pejuang. Bagaimana Syeikh Khatib Al-Minangkabawi membawa nalar keilmuannya sampai ke tanah Makkah , seorang Mohammad Hatta yang menjadi tokoh pembaharuan kemerdekaan hingga Rahmah El Yunusiah yang menjulang dalam dunia pendidikan perempuan Muslim. Mereka memandu umat dengan tinta dan mimbar-mimbar perjuangan. Minangkabau tidak pernah kehabisan cahaya, justru ia menjelma sebagai rahim dalam membentuk pemikiran Islam yang visioner.
Namun dalam kurun seratus purnama, kita akan bertanya apa dan bagaimana selanjutnya, sebuah warisan ini tak berarti bila tak diwarisi. Ia menjadi panggilan untuk dilanjutkan, jangan biarkan sejarah hanya menjadi pusaka di rak berdebu. Di dalam perhelatan zaman, saat ini seolah “Surek alah lamo indak bakambang, adat mulai batinggakan dan surau lah lamo tak ba imam” Hilangnya marwah ilmu, adab dan tauhid dalam diri generasi Minang, generasi yang sibuk dikejar oleh zaman. Buku ini menjadi seruan sunyi untuk menghidupkan cahaya dan eufoni diantara surau-surau kecil bahwa Minangkabau bukan sekedar nama, melainkan peradaban yang dibangun oleh adat, dipelihara oleh ilmu, dan diwariskan oleh perjuangan.