Politik Indonesia hari ini semakin mirip sebuah panggung teater. Para aktor politik beradu peran, mengenakan kostum kesederhanaan, kerakyatan, bahkan religiusitas. Mereka tersenyum di depan kamera, berpidato penuh retorika, dan menampilkan diri sebagai penyelamat bangsa. Namun, di balik layar, berlangsung transaksi kekuasaan, intrik, dan kompromi yang jauh dari kepentingan rakyat. Publik pun semakin sering disuguhi drama, bukan substansi.
Buku ini mengajak pembaca membongkar dramaturgi politik Indonesia bagaimana pencitraan diproduksi, bagaimana rasa muak publik tumbuh, dan bagaimana polarisasi meretakkan persaudaraan kebangsaan. Dengan gaya naratif, analitis, dan kritis, buku ini menguraikan fenomena politik sebagai pertunjukan sekaligus menantang kita untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik layar kekuasaan.
Lebih dari sekadar kritik, buku ini juga menghadirkan harapan. Rasa muak tidak harus berakhir pada apatisme; ia bisa diolah menjadi energi sosial yang mendorong lahirnya perlawanan moral, kepemimpinan yang berintegritas, serta rekonstruksi solidaritas kebangsaan. Dari retakan bangsa, selalu ada kemungkinan untuk membangun fondasi yang lebih kokoh asal ada keberanian untuk menolak ilusi dan menuntut substansi.
Ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini ditujukan bagi pembaca umum yang kritis terhadap politik: mahasiswa, aktivis, akademisi, maupun masyarakat luas yang ingin memahami mengapa politik Indonesia terasa memuakkan sekaligus bagaimana rasa muak itu bisa menjadi jalan menuju perubahan.
Dramaturgi Kepemimpinan dan Pencitraan di Ujung Rasa Muak bukan sekadar analisis, melainkan undangan. Undangan untuk menyingkap panggung palsu yang melelahkan, sekaligus mengimajinasikan masa depan politik yang lebih jujur, adil, dan bermartabat.