Layeni adalah sebuah negeri di pulau Teon, Kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah. Pulau ini, terdiri dari lima negeri yaitu : Layeni, Isu, Watludan, Yafila dan Mesa. Awalnya negeri ini dihuni oleh para migrant awal, atau penduduk asali, yang terdiri dari tiga kelompok. Mereka mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok, dan telah memulai system pemerintahan adat secara sederhana dan demokratis. Mereka memilih kepala kampung guna mengorganisir masyarakat, demi perkembangan peradaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya, datanglah gelombang migrasi dari Kepulauan Babar, yang segera saja mengubah komposisi demografi, serta turut mempengaruhi perkembangan sosio cultural dan peradaban negeri ini. Bahasa penduduk asali, kemudian mengalami degradasi dan hilang lalu tergantikan oleh bahasa para migran yang datang kemudian. Ornament-ornamen budaya seperti tarian dengan pernak-perniknya, sastra lisan, budaya maritime dengan ornamennya: pembuatan perahu layar ukuran besar, arumbai, sampan, perahu bercadik, segera saja menjadi identitas negeri ini, dan membentuk anak-anak negeri ini menjadi para pelaut ulung.
Ketika masuknya colonial Belanda dan agama Kristen, terjadi lagi perubahan-perubahan yang ekstrem; Agama asli digantikan dengan agama Kristen, penduduk ditata dengan mengenakan fam atau marga, system pemerintahan ditata ulang, perkampungan yang letaknya di dataran tinggi, direlokasi ke pantai, dibentuklah kelompok masyarakat yang disebut Soa. Sebelumnya negeri ini terdiri dari 5 kelompok yang secara tradisional disebut Mutu atau Luwi. Luwi ini adalah cikal bakal Soa. Namun anehnya tidak dibentuk Soa menurut Luwi yang sudah ada, melainkan dibentuk hanya dua Soa. Akhirnya negeri ini hanya terdiri dari dua Soa padahal desa-desa lain yang lebih kecil, minimal 3 Soa.
Di tahun 1978, oleh Pemerintah Indonesia dibawah regime Soeharto, penduduk Teon Nila dan Serua dievakuasi ke Pulau Seram. Di sana, pemukiman tidak teretak di pesisir Pantai, melainkan di pedalaman. Hal ini segera saja mengubah kulltur anak-anak Negeri Layeni dan penduduk Teon Nila Serua, yang tadinya merupakan masyarakat maritime dengan ciri dan karakter sebagai para pelaut yang tangguh, menjadi orang-orang pedalaman yang segera saja akrab dengan dunia agraris, sehingga dalam waktu yang relative singkat, mereka telah mengalami “pembunuhan karakter” sebagai orang-orang pelaut, dan “dipaksa” menjadi para petani tulen.
Masih banyak masalah yang mereka hadapi : petuanan dengan batas-batas yang kurang jelas di Waipia pulau Seram, sehingga seringkali diganggu; hak-hak keperdataan mereka di pulau-pulau Teon, Nila Serua yang juga terancam dianeksasi oleh sesama penduduk negeri mereka yang menetap di pulau; pergulatan antara nilai-nilai budaya tradisional versus modernisasi, komposisi penduduk yang terus mengalami pertumbuhan dan perubahan, sehingga turut mempengaruhi eksisitensi Negeri, dan masih banyak masalah lainnya.
Tentu saja semua persoalan di atas merupakan pergulatan sosio cultural yang harus disiasati dan dijawab oleh anak-anak negeri dengan bijaksana demi membangun prospek masyarakat Negeri yang lebih baik ke depan.